Widget HTML Atas

Taman Laut Ujung Manggeng

Manggeng, sebuah pelosok kecil di Aceh punya keragaman masyarakat, budaya dan sejarah yang dilalui. Berawal dari pemukiman kecil di muara sungai, kini makin berkembang menjadi sebuah kota kecil yang diperhitungkan di Barat Daya Aceh.aerah ini memiliki sejarah panjang di bawah Kesultanan Aceh. Dalam sebuah peta tua peninggalan Aceh Darussalam, kawasan ini ditulis dengan nama Bandar Mankin (بندر مانكين) bersanding dengan Susoh dan Labuhan Haji. Peta itu ditulis oleh Muhammad Ghauts Saiful 'Alam Syah, seorang kartograf (pembuat peta) abad ke-19 Masehi.




Peta dalam aksara jawi ini dibuat tahun 1850 pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim Mansyur Syah. Bersama sepucuk surat, peta tersebut ditujukan kepada penguasa Turki di Istanbul. Dibawa oleh utusan Sidi Muhammad bersamaan dengan surat penegasan hubungan Aceh-Turki yang sudah terjalin sejak abad 15.

Penabalan nama bandar oleh kartograf Kesultanan Aceh tentu bukan tanpa alasan. Bisa jadi karena adanya aktifitas perdagangan dan komoditas penting yang diperhitungkan saat itu.



Penduduk di sini dipercaya berasal dari Aceh Besar yang datang pada dekade pertama perluasan wilayah Kesultanan Aceh ke pantai bagian barat Pulau Sumatra. Masa selanjutnya barulah etnis Minangkabau bermigrasi bertahap, dan terjadilah akulturasi budaya. Mereka juga membentuk komunitas yang mengembangkan pertanian dan membuka lahan baru untuk bercocok tanam.

Sejak dulu padi menjadi komoditas penting. Namun cengkeh, lada dan pala juga merupakan komoditas lain yang sempat berjaya. Saat ini pala tetap bertahan, sementara yang lain sudah sangat jarang ditemukan. Kemungkinan rempah-rempah inilah yang pernah diperdagangkan di pelabuhan tua-nya.

Bibit awal aneka rempah tersebut mungkin dibawa oleh pedagang yang singgah di pelabuhan, atau didistribusi langsung dari ibukota kesultanan. Kemudian dikembangkan oleh penduduk Manggeng.

Kenegerian Manggeng masuk dalam wilayah Aceh Barat Daya kini. Terbentang dari Ujong Lhok Pawoh yang berbatasan dengan Lhok Pawoh Utara (Tangan-Tangan) hingga Kuala Pawoh Baru (Krueng Baru) berbatasan dengan Labuhan Haji.

Dulu kala, Manggeng merupakan daerah kekuasaan dan kontrol Kesultanan Aceh. Terbagi menjadi dua wilayah Uleebalang, yaitu 
Manggeng (dari Krueng Manggeng hingga Lhok Pawoh) dan Bak Weu (dari Krueng Manggeng hingga Krueng Baru). Keduanya di bawah pemerintahan satu raja.

Menurut literatur masyarakat setempat, raja pertamanya adalah Datok Beusa (Datuk Besar) yang diyakini masih ada hubungan famili dengan Sultan Iskandar Muda. Konon kabarnya, masa Sultan Alauddin Jauhar Al-Alamsyah (1795-1824) pernah melakukan penertiban ke Negeri Manggeng. Sultan marah dan memutuskan berlayar untuk menyerang Datok.

Hal ini disebabkan oleh penguasa setempat yang tidak mau membayar upeti pada Sultan di Bandar Aceh Darussalam. Setelah pelayaran dilakukan, berakhirlah ketegangan dengan ibukota kesultanan.

Sepeninggalan Datok Beusa, tampuk pemerintahan dipegang Datok Muda, Datok Cut Amat, Datok Cut Hajat, Datok Nyak Dolah, Teuku Raja Geh dan Teuku Sandang yang pernah dibuang Belanda ke Batavia. Selama masa pengasingan, kenegerian dipimpin Teuku Cut Mamat (anak Teuku Raja Geh). Tidak lama memerintah, Ia digantikan oleh Teuku Muda Nana dengan pemangku Nyak Blang.

Sekembalinya Teuku Sandang, beliau kembali diangkat menjadi raja. Setelah memerintah beberapa lama, Ia digantikan oleh Teuku Raja Iskandar pada tahun 1933. Beliau merupakan raja terakhir yang memerintah kenegerian ini.

Pusat Kenegerian Manggeng yang pertama terletak di muara Krueng/Sungai Manggeng (antara Alue Rambot-Padang Meurandeh). Kemudian bertahap pindah ke Gampong Blang Manggeng, Tokoh, Padang, dan terakhir di Kedai.

Silih bergati Kenegerian Manggeng diperintah oleh raja, hingga masa pendudukan Belanda. Setelah merdeka, wilayah Uleebalang Bak Weu menjadi Kemukiman Suak Beurembang dan Uleebalang Manggeng menjadi Kemukiman Ayah Gadeng. Karena terlalu luas, sehingga kini dimekarkan menjadi enam mukim dalam dua kecamatan yaitu Manggeng dan Lembah Sabil.

Kenegerian Manggeng menandatangani korte verklaring (perjanjian pendek) sebagai tanda tunduk kepada Pemerintah Belanda, pada tahun 1881. Namun wilayah ini tidak pernah benar-benar dikuasi. Salah satu sebab karena munculnya sejumlah pahlawan yang frontal melawan penjajah. Tidak ada satu tangsi pun berhasil didirikan. Hanya di Blangpidie berhasil dibangun, dan menjadi pusat kekuatan Belanda di Aceh Barat Daya.

Dari Manggeng muncul seorang penggagas perlawanan. Ia diakui sebagai salah seorang pahlawan daerah yang paling berjasa. Namanya Teungku Peukan. Beliaulah yang secara terang-terangan berperang melawan Belanda di Blangpidie.

Serbuan heroik Tgk. Peukan pernah membuat marsose kalang-kabut, tepatnya menjelang matahari terbit pada 10 September 1926. Pertempuran sengit ini memakanbanyak korban tentara Belanda dan laskar mujahiddin, termasuk beliau sendiri. Meski Ia wafat, semangat perjuangan sang pahlawan tetap dilanjutkan generasi selanjutnyahingga Jepang tiba

KOMENTARI VIA FACEBOOK: